Pernahkah
anda mengalami kesulitan pada saat hendak memutuskan sesuatu ?
Di satu
sisi Anda tahu keputusan apa yang seharusnya Anda ambil namun di sisi
lain ada suatu perasaan dan keinginan kuat yang mendorong Anda untuk
mengambil keputusan yang lain yang sama sekali bertentangan.
Mungkin
sebagian dari Anda, pada situasi tersebut, memilih untuk menggabungkan
dua keputusan menjadi satu dan hasilnya ternyata tidak optimal atau
bahkan malah gagal sama sekali. Meskipun banyak metoda ilmiah dan
praktis bisa digunakan dalam mengambil keputusan seperti penyusunan
skala prioritas dan pembobotan, namun tak bisa dipungkiri bahwa yang
namanya pengambilan keputusan tidak bisa lepas dari faktor emosi.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita mengendalikan dan menggunakan emosi
kita pada saat-saat kritis yang bisa berdampak terhadap kelangsungan
hidup kita, perusahaan, masyarakat sekitar atau bahkan Negara?
Dalam hal ini, saya teringat dengan penjelasan rekan dan sekaligus
mentor saya, Bapak Agus Riyanto dimana beliau menegaskan bahwa ada 9
jenis emosi yang biasanya menjadi landasan bagi manusia dalam mengambil
suatu tindakan tertentu. Kesembilan jenis emosi tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Apathy (Ketidakpedulian)
Sikap dan tindakan yang dilakukan didasari rasa ketidakpedulian sehingga
segala sesuatu dikerjakan secara asal-asalan. Hasilnya pun tentu saja
asal jadi. Dalam pengambilan keputusan, sikap apathy mendorong seseorang
untuk tidak memutuskan apa-apa atau tidak berbuat apa-apa
2. Grief (Kesedihan)
Perasaaan kehilangan atau kekecewaan karena tidak berhasil mendapatkan
apa yang diinginkan telah menjadi pemicu dari sikap, tindakan atau
keputusan yang diambil. Dalam situasi ini maka hasrat untuk membangun
atau mencapai sesuatu yang baik telah memudar sehingga seseorang gagal
mencapai potensi terbaiknya
3. Fear (Ketakutan)
Di tengah tekanan yang berat seperti misalnya karena batas waktu atau
ketiadaan sumber daya, seseorang bisa mengalami rasa takut yang bisa
dimanifestasikan dalam bentuk kepanikan. Kekhawatiran yang berlebihan
karena menghadapi sesuatu yang belum pernah dihadapi juga bisa menjadi
pemicu ketakutan. Dalam situasi seperti ini maka seseorang tidak bisa
berfikir dengan jernih dan bersikap tenang sehingga lalai dalam
mempertimbangkan semua kemungkinan yang ada.
4. Lust (Keserakahan)
Rasa ingin memiliki atau menguasai sesuatu secara berlebihan bisa jadi
merupakan wujud keserakahan. Dalam dorongan emosi seperit itu maka
seseorang bisa kehilangan kendali atas logikanya sehingga kurang teliti
dalam melakukan perhitungan dan pertimbangan untuk membuat keputusan
yang bisa berakibat fatal terhadap dirinya, keluarganya atau
organisasi/institusi yang dipimpinnya.
5. Anger (Kemarahan)
Keinginan yang kuat untuk melampiaskan amarah baik terhadap sesuatu atau
seseorang bisa berujung pada tindakan yang berpotensi merusak atau
menyakiti. Tentu saja seseorang yang mengambil keputusan dengan dasar
amarah akan tertutup pikiran dan hatinya dari berbagai pertimbangan yang
sehat dan tujuan yang baik. Dalam keadaan seperti ini, biasanya
keputusan yang dibuat tidak membawa perbaikan yang diharapkan tetapi
justru malah memperparah keadaan.
6. Pride (Kesombongan)
Dengan alasan harga diri dan keinginan membuktikan kemampuan yang
dimilikinya, seseorang bisa terjebak dalam emosi kesombongan pada saat
membuat suatu keputusan. Dalam situasi ini, maka seorang pengambil
keputusan bisa jadi melakukan tindakan yang tidak efisien seperti
penggunaan sumber daya secara berlebihan atau bahkan melakukan tindakan
yang tidak berguna sama sekali hanya karena ingin memamerkan kemampuan
yang dimilikinya.
7. Courageous (Keberanian)
Keinginan yang kuat untuk mempertahankan atau menyelamatkan sesuatu bisa
mendorong keberanian seseorang yang berujung pada kegigihan yang tiada
bandingannya. Dasar keputusan yang dibuat adalah keberanian untuk
menghadapi bahaya yang mengancam. Karena itu biasanya sang pengambil
keputusan akan lebih hati-hati dalam memperhitungkan segala sesuatunya
sehingga keputusan yang dibuat berpotensi untuk menghasilkan sesuatu
yang baik.
8. Acceptance (Penerimaan)
Sikap yang siap menerima segala kemungkinan yang terjadi biasanya muncul
setelah usaha terbaik dilakukan. Inilah bedanya antara acceptance
dengan apathy. Pada situasi dimana emosi untuk menerima (acceptance)
telah terbentuk, biasanya emosi-emosi lainnya seperti kesedihan,
ketakutan, keserakahan, kesombongan, dan kemarahan mulai mereda atau
bahkan hilang sama sekali. Karena itu, sang pengambil keputusan akan
lebih jernih berfikir dan bersikap lebih tenang sehingga bisa melihat
peluang-peluang yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Karena itu,
keputusan yang dibuat dengan dasar acceptance biasanya akan berujung
pada sesuatu yang baik.
9. Peace (Kedamaian)
Keinginan untuk menciptakan atau mencapai kedamaian merupakan emosi yang
sangat baik karena biasanya emosi yang satu ini tidak mengandung
kepentingan pribadi tetapi lebih mengutamakan kepentingan orang lain.
Dengan landasan emosi yang demikian, maka seorang pengambil keputusan
akan bersikap sangat arif dan obyektif sehingga mampu menggali semua
kemungkinan terbaik yang bisa dilakukan. Hasilnya, tentu saja keputusan
yang berubah manis bagi dirinya dan orang lain.
KESIMPULAN :
Kita
semua tentu bisa segera menyimpulkan bahwa enam emosi yang pertama
merupakan emosi yang negatif atau jenis emosi yang sebaiknya dihindari
pada saat membuat keputusan apalagi keputusan yang sangat penting dan
berdampak luas.
Kisah Hitler pada saat menyerbu Soviet merupakan sebuah
contoh yang sangat baik dalam menjelaskan pengaruh emosi negatif.
Kekuatan dan kelebihan Jerman seperti kecerdasan strategi para
jendralnya, keahlian dan pengalaman para prajuritnya, serta ketangguhan
dan kecanggihan peralatan perangnya menjadi tidak berarti karena
terkubur di bawah ketakutan, keserakahan, kesombongan dan kemarahan sang
diktator. Akibatnya, Hitler luput memperhitungkan kecukupan jumlah
tentara, perlengkapan, amunisi dan suplai makanan mengingat luasnya
wilayah Soviet.
Hitler juga tidak menghiraukan saran-saran dari para
Jenderalnya. Bahkan, ia terlalu meremehkan jumlah pasukan dan kecepatan
produksi senjata yang bisa dihasilkan Stalin. Dan, yang terpenting,
Hitler alpa memperhitungkan semangat juang tentara merah yang pantang
menyerah. Emosi negatif yang begitu mendominasi sang fuhrer menyebabkan
ia melakukan keputusan-keputusan bodoh seperti tidak membekali
pasukannya dengan baju hangat yang tebal untuk menghadapi musim dingin
di Rusia yang terkenal ganas karena Hitler memperkirakan Jerman sudah
bisa menundukkan Soviet dalam waktu enam bulan saja sebelum musim dingin
tiba.
Ternyata perang tersebut membutuhkan waktu bertahun-tahun. Jerman
akhirnya terseret dalam pertempuran gerilya di dalam kota dan
peperangan melawan cuaca, lapar dan keputusasaan. Bahkan di tengah
kepanikannya, Hitler berkali-kali membuat blunder dengan merelokasi
pasukan dan peralatan perangnya pada saat dan untuk tujuan yang tidak
tepat. Hasil akhirnya, kita sama-sama tahu. Penyerangan Jerman ke Rusia
menjadi titik balik kekalahan Jerman di Eropa dan kekalahan poros
Jerman, Jepang, dan Italia dalam perang dunia ke-2.
Tiga emosi yang terakhir merupakan emosi positif yang memberikan kita
kekuatan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Bahkan ada
pendapat yang mengatakan bahwa bila kita menggunakan emosi positif, maka
kita akan mendapatkan bantuan atau pertolongan dari “tangan yang tidak
terlihat”.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita menjaga emosi kita agar
selalu menggunakan ketiga emosti positif tersebut dalam membuat
keputusan? Sebagian dari jawaban itu terletak pada kepekaan kita untuk
selalu bertanya kepada diri kita sendiri apakah kita melakukan sesuatu
karena emosi positif atau negatif?
Seperti misalnya keputusan kita untuk
menerima suatu jabatan tertentu, apakah karena keinginan kita untuk
membawa perbaikan (peace) ataukah keinginan untuk menunjukkan kemampuan
kita (pride) ? Atau malah keinginan kita untuk mendapatkan materi yang
lebih banyak (lust)? Bila kita sudah memiliki kepekaan untuk selalu
menguji emosi maka sisa jawabannya akan ditemukan seiring waktu.
Karena
emosi kita sesungguhnya bisa berubah dari waktu ke waktu. Manusia tidak
sempurna. Tetapi bisa selalu menjadi lebih baik. Karena itu, penting
bagi kita untuk tidak cepat merasa puas karena kita sudah mendasari
suatu keputusan dengan emosi yang positif. Ingat, suatu keputusan yang
diawali dengan courageous bisa jadi berubah menjadi pride bila kita
tidak hati-hati menjaganya
Semoga Bermanfaat :)