Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada mulanya
diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu
umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan
tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
Kita
mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun
1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap
Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat
perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam
terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu
khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun
hanya sebagai lambang persatuan spiritual.
Adalah Sultan
Salahuddin Al-Ayyubi --orang Eropa menyebutnya Saladin, seorang pemimpin
yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para
tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub --katakanlah
dia setingkat Gubernur. Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah
(Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai
Suriah dan Semenanjung Arabia. Kata Salahuddin, semangat juang umat
Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat
kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia
agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal kalender Hijriyah,
yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus
dirayakan secara massal.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan
dari khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata khalifah setuju. Maka
pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi), Salahuddin
sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah)
mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke
kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat
Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M)
tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan
berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salahuddin
ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti
itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama
cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin
kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang
menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga
tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu
kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid
Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan
sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan
bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk
mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah
Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji
sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada
peringatan Maulid Nabi.
Barzanji bertutur tentang kehidupan
Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja,
pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan
sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa
untuk dijadikan teladan umat manusia. Nama Barzanji diambil dari nama
pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja'far al-Barzanji bin Husin bin
Abdul Karim. Dia lahir di Madinah tahun 1690 dan meninggal tahun 1766.
Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya
tulis tersebut sebenarnya berjudul 'Iqd Al-Jawahir (artinya kalung
permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad
SAW. Tapi kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.
Ternyata
peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu
membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang
Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan,
sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari
tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai
hari ini.
***
Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara,
perayaan Maulid Nabi atau Muludan dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk
sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar
mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk
Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi disebut Perayaan
Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.
Dua kalimat
syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan Kalijaga
bernama Gamelan Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di
halaman Masjid Demak pada waktu perayaan Maulid Nabi. Sebelum menabuh
dua gamelan tersebut, orang-orang yang baru masuk Islam dengan
mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu memasuki pintu gerbang
"pengampunan" yang disebut gapura (dari bahasa Arab ghafura, artinya Dia
mengampuni).
Pada zaman kesultanan Mataram, perayaan Maulid Nabi
disebut Gerebeg Mulud. Kata "gerebeg" artinya mengikuti, yaitu
mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid
untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara,
seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud, ada juga
perayaan Gerebeg Poso (menyambut Idul Fitri) dan Gerebeg Besar
(menyambut Idul Adha).
Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat
dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12
Rabi'ul Awal (Mulud), sudah dihapal luar kepala oleh anak-anak NU. Acara
yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif,
dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan
Rabius Tsany (Bakdo Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan
spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang
menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak
besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan
ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan
ribu umat Islam.
Ada yang hanya membaca Barzanji atau Diba'
(kitab sejenis Barzanji). Bisa juga ditambah dengan berbagai kegiatan
keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil
berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’izhah hasanah
dari para muballigh kondang.
Para ulama NU memandang peringatan
Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak
ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan
dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi
tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen,
diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah
sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’izhah hasanah pada
acara temanten dan Muludan.
Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda:
"Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syqfa'at kepadanya di Hari Kiamat."
Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan:
“Siapa yang menghormati hari lahir rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”
Title : Asal Mula Adanya Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad saw
Description : Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu um...