Ada sebuah pohon apel besar tumbuh di halaman
sebuah rumah. Anak kecil di keluarga tersebut suka bermain di sekitar
pohon itu setiap hari. Memanjatnya, makan apel langsung ketika berbuah
lebat, atau sekadar tidur di bawahnya saat panas terik.
Tak terasa waktu pun berlalu. Anak ini menjadi remaja. Suatu hari, ia menghampiri pohon apel tersebut.
"Ayo kita bermain lagi
seperti dulu," ajak pohon apel.
"Wah, saya bukan lagi anak kecil. Sudah bukan jamannya memanjat pohon
saja. Sekarang saya lagi bingung, butuh uang untuk mentraktir pacar
saya."
"Saya hanya sebatang pohon, tidak punya uang. Tapi
kalau kamu mau, silahkan ambil semua apel saya dan menjualnya. Jadi kamu
punya uang untuk pacar kamu.
" Anak itu gembira, ia lalu memetik semua apel di pohon itu dan pergi dengan pacarnya.
Anak itu tak pernah kembali memperhatikan sang pohon apel. Bertahun berlalu, anak itu kini menjadi lelaki dewasa.
Suatu hari ia datang lagi menghampiri pohon apel tersebut. "Sekarang
kamu sudah dewasa, ada waktu untuk bermain dan mengenang masa lalu?"
tanya pohon apel.
"Saya tidak punya waktu untuk itu. Saya
harus bekerja untuk keluarga. Dan sekarang sedang bingung karena kami
tak punya rumah untuk berteduh."
"Oh kasihan. Kalau kamu mau silahkan potong cabang-cabang saya dan jadikan rumah untuk keluargamu."
"Benarkah?" tanya pria tersebut. Ia pun mengambil kapak dan memotong
semua cabang di pohon apel hingga hanya tersisa batang utama saja.
Pria itu lalu pergi membangun rumahnya dan tak pernah kembali. Setelah
bertahun-tahun kemudian, tiba-tiba pria ini kembali lagi. Sebagian
rambutnya sudah berwarna keperakan tanda usia yang matang.
"Apa kabar, kawan?" tanya pohon apel yang kini tanpa dedaunan lagi.
"Halo pohon apel. Sekarang saya sudah pensiun, dan ingin menikmati masa tua dengan berlayar sambil memancing."
"Oh saya tahu," tebak sang pohon apel. "Silahkan, bila kamu mau
pakailah batang utama di tubuh saya dan jadikan perahu untukmu."
"Ah, terima kasih," sahut pria tersebut. Ia pun menebang batang pohon
apel lalu menjadikannya perahu. Sang pohon apel terlupakan lagi. Walau
perasaannya sungguh sedih, namun dibiarkan pria itu pergi. Kini, setelah
hampir 60 tahun berlalu, seorang pria tua renta pulang kembali ke rumah
masa kecilnya.
Tiba-tiba ia tersandung sesuatu Ternyata akar pohon apel yang tersisa.
"Oh rupanya kamu pohon apel yang dulu," ujar pria tua tersebut.
"Apa kabar kawan masa kecil? Sekarang saya tinggal akar tua tersisa,
tidak bisa mengajakmu bermain atau berteduh di bawah rimbun daun saya.
" Pria tersebut hanya terdiam dan duduk di salah satu akar sang pohon
apel. Dari matanya mengalir air mata bening, menitik jatuh di antara
keriput wajahnya.
Moral Cerita:
Pohon apel melambangkan orang tua kita. Demikianlah, saat kita kecil senang bermain dengan
ayah dan ibu. Seraya remaja dan dewasa kita meninggalkan mereka.
Hanya sesekali datang pada
mereka saat membutuhkan pertolongan. Walau demikian, orang tua kita
seperti pohon apel tersebut, selalu rela menolong dan berkorban
agar kita bisa keluar dari kesulitan.
Kasih orang tua memang tiada batas Semoga kita tidak seperti anak dalam cerita yang mengambil dan melupakan sang pohon apel
begitu saja. Melainkan mau menghargai dan merawat orang tua agar masa tua mereka tak
berakhir sedih laksana akar-akar pohon apel yang tersisa.
Related Posts :